Rabu, 28 Maret 2012

Asal mula nama "KOLBANO"


KOL HAN BANO
“Suatu legenda tentang  asal mula nama KOLBANO, salah satu tempat bersejarah di Timor Barat, sekarang menjadi tempat wisata yang berpanorama indah karena batu dan pasir warnanya yang terkenal”

Oleh : Nikodemus Solle, sebagaimana yang diceritrakan oleh para leluhur turun-temurun, juga sebagaimana yang disampaikan oleh sdr. Frederik Pit’ay,  Mahasiswa Fakultas Keguruan Jurusan Sejarah-Budaya, UNDANA  Kupang, tahun 1969, dalam penelitianya yang tetuang dalam catatan-catatan wawancara dengan penduduk Kolbano, maupun  daerah sekitarnya, untuk Skripsinya yang berjudul : “ Perlawanan Rakjat Kolbano terhadap Pendjadjah Belanda”.

Pengantar :

KOLBANO,  adalah nama sebuah tempat bersejarah di Timor Barat, dimana dulunya menjadi  tempat perdagangan  Madu dan Cendana  antara populasi pribumi dengan bangsa asing ( antara lain : China, Portugal ,India ), sekarang ini menjadi salah satu  Kecamatan  di Kabupaten Timor Tengah Selatan, dengan nama  Kolbano setelah mekar dari Kecamatan Amanuban Selatan.  Kolbano memang indah, itulah sebabnya tempat ini menjadi tempat pariwisata yang tersohor dengan  pantai yang berwarna-warni karena batu warnanya, dan karenanya semua elemen masyarakat parut untuk menjaga kelestarianya. Walaupun demikian, masyarakatnya udah mulai melupakan legenda tentang nama Kolbano, dikarenakan generasi muda tidak menaruh minat untuk  mendengarkan atau menulis ceritera-ceritera rakyat dan tuturan sejarah  dari para  tetua. Hal ini dapat dimaklumi, karena kebiasaan suku-suku di Timor Barat, tidak memperbolehkan seseorang bertutur dengan sembarangan, sebab bagi  “atoni pah meto” (sebutan bagi populasi Timor Barat) adalah “Leu” atau keramat, karena “Natoni” atau tutur sejarah  adalah “Fanu”  atau mantera yang mengandung  tuah atau senjata  yang dapat membawa kemalangan (jika salah bertutur) atau membawa keberuntungan (jika benar). Lebih dari pada itu, pada jaman penjajahan, banyak sekali perubahan kekuasaan dari bangsawan yang asli kepada bangsawan bentukan penjajah karena kepentingan perdagangan dan kepentingan penjajahan, sehingga menyebabkan suku yang berkuasa berusaha menghilangkan pengaruh suku penguasa terdahulu dengan cara – cara  kekerasan sehingga  dalam  “Natoni” atau bertutur terdapat istilah  “aum uab / uab amut” atau ceritra yang dibungkus, atau dikemas, sehingga tidak dibuka untuk umum karena biasanya ceritra itu memalukan seseorang ( raja / penguasa / bangsawan, atau suku / marga tertentu) ataupun “uab amut” itu  terjadi karena “fanu” (mantra) seseorang terkait marga / suku  agar tidak diketahui orang lain atau marga / suku lain, karena dapat menyebabkan kemalangan bagi yang melakukan  “natoni”.
Karena itulah, maka sejarah tentang suku-suku ataupun legenda-legenda tempat di Timor Barat (Pah Meto) sangat sulit didapatkan, bahkan hampir punah. Tanpa bermaksud lain-lain, kecuali hanya untuk melestarikan ceritra rakyat Timor Barat  (Atoni Pah Meto), maka penulis berusaha sedapat mungkin, menceritrakan kembali tuturan “Natoni” leluhur dari penulis tentang asal mula nama tempat KOLBANO, sebagai upaya melestarikan kekayaan budaya yang dimiliki oleh “Atoni Pah Meto”.

Beginilah legenda  asal mula nama “Kolbano” :

Konon  pada zaman dahulu, disuatu tempat bernama Balka ma Laepun1) (Balka dan Laepun), tinggallah seorang Kepala Suku dari marga Sole yang juga diakui sebagai raja  di kerajaan “Pene mFaifnome2)” yang wilayah kekuasaanya meliputi “Humoen, Pah Nai Lamu3),  termasuk  “Balka dan Laepun”.  Pada suatu saat, raja Sole, memerintahkan pada rakyatnya untuk membuat etu4) baginya di sebuah tempat yang bernama “Noe Sop5” . Etu tersebut  diolah dan ditanami dengan sain6), yang semakin hari semakin bertambah subur dan lebat, hingga berbulir dan matang.   Bulir yang dipenuhi biji sain terlihat kuning keemasan di timpa sinar matahari. Selama menunggu masa penuaianya, etu tersebut ditunggui  oleh  para abe’at7) dan abhaet8) raja. Tetapi sayang seribu sayang, rupanya para abe’at dan abha’et lengah dan tidak menjaga etu dengan baik sehingga bulir sain sebagianya dimakan habis oleh kol sain).
Pada suatu petang, raja Sole rindu untuk melepas kejenuhannya. Sang raja keluar dari sonaf9)-nya dan menuju ke etu di Noe Sop dengan harapan dapat menikmati keindahan etu yang penuh dengan sain menguning keemasan tertimpa cahaya matahari. Tetapi alangkah terkejut dan sedihnya raja, ketika didapati bahhwa sain sain itu telah rusak dan habis sebagianya. Dengan sedikit marah dipangilnya para abe’at dan abha’et-nya seraya bertanya : “ Apa gerangankah yang membuat sais-sain ini rusak ?” dengan takut para abhe’at dan abha’et menjawab : “ Usi… le kol an-ana lulu mtasa le kalu nkaet hanan on bano es na leu sin”  (artinya :  Ya raja…itu burung kecil, yang paruhnya merah, yang kalau berkicau seperti bunyi giring-giring yang merusakanya)…
Raja yang bijaksana ini, sedikit merenung lalu berkata pada para abe’at dan abha’et-nya : “ Oh….tidak apa-apa… sebab hari ini barulah saya menemukan nama yang baru bagi negeri ku  yaitu “ KOL HAN BANO10)” (burung yang bersuara seperti bunyi giring-giring).
Demikianlah kemudian dalam waktu-waktu seterusnya sebutan KOL HAN BANO berubah menjadi KOL BANO11) sampai dengan saat ini.


Keterangan :
1). Balka ma Laepun (Balka dan Laepun)  adalah : Nama Kolbano pada masa lampau, menurut Frederik Pit’ay, 1969, dalam Skripsinya yang berjudul “ Perlawanan Rakjat Kolbano terhadap Pendjadjahan Belanda” menyebutkan bahwa Balka dan Laepun adalah nama pada masa lampau dari Kolbano, dimana Balka dan Laepun adalah tempat kediaman pertama dari bangsawan Sole.
2). Pene mfaifnome  / Pene ma Faifnome adalah :  Nama tempat dimana Suku Sole, menjadikan “ Faifnome” (Bintang Timur / Bintang Fajar) sebagai lambang Suku-nya. Pene = Memandang,   Faifnome = Bintang fajar / Bintang Timur. Wilayah ini menjadi bagian kerajaan Bangsawan Sole, bahkan masih meninggalkan bekas istana kerajaan. Pene = kemudian pernah disebut sebagai Pene Selatan menjadi  berdekatan dengan Sei dan Pana. Kesemuanya ini adalah satu kesatuan ceritra terkait “ Pene mfaifnome” (akan di ceritrakan tersendiri)
3). Humoen, Pah Nai Lamu, adalah suatu wilayah luar yang masih kosong yang ditumbuhi oleh padang rumput dan merupakan negeri tanah hutan. Menurut tuturan para tetua, Suku Sole pendatang pertama  dan merupakan yang sulung,  ketika datang  hendak menetap di Lunu, tetapi karena Lunu hanyalah tempat yang terdiri dari padang rumput belaka, maka Suku ini meneruskan perjalanan ke Nakfunu melalui pinggir pantai laut selatan dan menetap di suatu tempat yang kemudian mereka namakan “ Pene”  karena mereka memandang bintang timur (terkait dengan ceritra tentang Pene mfaifnome), Lalu Negeri Selatan ini di kenal sebagai Pah Nai Lamu.
4). Etu = Kebun milik raja, yang dipersembahkan dan dikerjakan oleh Rakyatnya (terutama dari keluarga Permaisuri )
5). Noe Sop  terdiri dari  kata  Noe artinya: Kali / sungai dan Sop (dari kata : namsop) yang berarti : Selesai /Penghabisan. Jadi Noe Sop artinya Penghabisan Sungai, atau Sungai / Kali selesia  atau Ujung Kali / Sungai  (muara). Untuk mengingat sejarah tentang penyebutan nama baru KOLBANO bagi BALKA ini maka tuturan (natoni) selalu diasimilasikan  nama tempat ini sebagaimana layaknya sastra timor barat dimana selalu dibuatkan empat seuntai  yakni : Balka mLaepun, Kolbano mNoesop ( Balka dan Laepun, Kolbano dan Noesop).
6). Sain = tumbuhan jewawut (bijinya halus bulat dan kecil dalam jumlah sangat banyak pada satu bulir, bentuk daunya seperti padi, tumbuh berumpun seperti padi dari jenis rumput-rumputan dan merupakan bahan makanan raja “pah meto” pada zaman dahulu.
7). Abe’at = selalu melek matanya / tidak mengantuk  julukan bagi PENJAGA / PENUNGGU
8). Abha’et = Hamba sahaya / Abdi
9). Sonaf  = Istana Raja , Singgasana
10). KOL HAN BANO = KOL (dari KOLO = Burung), HAN (dari HANAN = Suara / bunyi), BANO = Giring – Giring. Jadi KOL HAN BANO artinya : Burung yang suaranya seperti bunyi giring-giring
11). KOL BANO = Kol (dari Kolo = Burung), Bano = Giring-giring. Jadi Kol Bano = Burung Giring-Giring (suaranya)

Selasa, 27 Maret 2012

NAI MNASI MOA HITU Ceritera Rakyat dari Atoni Pah Meto


“ NAI MNASI MOA HITU “
                  KAKEK TUJUH RUAS                  

Oleh : Nikodemus Solle,  sebagaimana yang dituturkan oleh nenek moyang kami turun temurun
  
           Dahulu kala, pada zaman purba, di pulau Timor hiduplah seorang yang manusia yang bernama  Natui Noe, dan istrinya bernama Bimana dengan akun1) Obe.  Pada zaman itu, Natui Noe menjadi bagian saudara dari dua belas kakak-beradik yang kemudian berkembang menjadi dua belas  suku di Timor Barat. Kedua belas kakak-beradik tersebut kemana-mana pada zaman itu selalu bersama-sama. Pada suatu saat, mereka bersepakat untuk mencari  takaf2) masing-masing yang akan diberikan oleh Uis Neno3). Perjalanan mencari takaf mulai dilakukan dan konon pada zaman tersebut, jarak langit dan bumi tidaklah sejauh sekarang ini  sehingga panas matahari sangat menyengat pada siang hari sedangkan malam hari dingin tak tertahankan. Perjalanan kakak-beradik ini terus dilakukan  dengan penuh sungutan karena panasnya matahari, kecuali Natui Noe yang tetap tekun berjalan tanpa mengeluh.
Suatu saat tibalah mereka pada suatu tempat yang bernama Fatu Na Neno4), panas matahari tidak lagi tertahankan, mereka berhenti dan makan pisang, tetapi sungutan dan omelan dari kakak-beradiknya terus saja berlangsung sampai memicu pertengkaran antara kakak-beradik, mereka kesal karena tidak dapat bertemu dengan Uis Neno untuk mendapatkan takaf  mereka masing-masing. Natui Noe, dengan tidak peduli pada omelan dan pertengkaran kakak-beradiknya, terus saja memakan pisang sambil memandang ke telaga air yang ada ditempat peristirahatan mereka di Fatu Na Neno, lalu ia melihat bayangan Uis Neno dalam air, kemudian ia menegadah ke langit dan melihat ada matahari dan bulan, lalu mengertilah Natui Noe bahwa Uis Neno ada di langit dan di bumi, lalu ia pun mengatakan pada kakak-beradiknya bahwa  ia tidak mau ikut mencari lagi takaf Uis Neno lagi sebab selama ini mereka capai dan berlelah mencari Uis Neno padahal Uis Neno di langit dan bumi. Kakak-beradiknya bertambah marah dan berkata : " Natui Noe, Kau ini bagaimana ? kita mencari takaf Uis Neno karena ada Nobin (bekas kaki) lewat sini, tapi kamu mengatakan bahwa Uis Neno ada di langit dan bumi, kami tidak mengerti. Kakak beradik ini memaksa Natui Noe agar mereka melanjutkan perjalanan mencari takaf Uis Neno tetapi Natui Noe tidak mau dan tetap pada pendirianya untuk menghentikan perjalanan karena baginya ia telah menemukan takaf Uis Neno. Akhirnya kakak-beradiknya mengatakan jika engkau telah menemukan takaf Uis Neno coba buat agar neno (siang /matahari )  jangan terlalu  panas seperti ini, buatlah langit meninggi dan bumi merendah supaya kalau siang kita jangan terlalu kepanasan dan kalau malam kita jangan kedinginan. Maka  tiba-tiba Natui Noe mendapatkan kesaktian yang luar biasa dimana  tubuhnya berubah bentuk menjadi tinggi sekali dengan tujuh ruas dan tujuh buku. Kesaktian yang diperolehnya ini dapat membuat Natui Noe  menjauhkan jarak langit dari bumi. Bersamaan dengan itu turunlah  hujan dan angin dari langit selama tujuh siang, tujuh malam, bahkan bumi bergetar seperti nainun (gempa bumi).  Kakak – beradik tersebut kemudian menyadari bahwa Natui Noe telah menemukan takaf-nya, yaitu tubuhnya yang berubah bentuk menjadi “tujuh ruas” atau yang dalam bahasa atoni pah meto5) disebut Moa Hitu. Sejak saat itulah , Natui Noe disapa dengan nama Moa Hitu6) yang artinya tujuh ruas.  Kesebelas kakak-beradik itu kemudian berkata kepada Moa Hitu  : “Engkau sudah boleh kembali karena engkau telah menemukan takaf-mu  Moa Hitu, kami belum bisa kembali bersamamu karena kami masih harus mencari  takaf kami”,
Akhirnya kesebelas kakak-beradik ini melanjutkan perjalanan mencari takaf mereka masing-masing, sedangkan Moa Hitu lebih dahulu kembali ke kampung  dan dengan tak sabar ingin menemui istrinya serta anak-anaknya untuk menyampaikan kabar gembiara itu.  Namun sayang seribu sayang  dalam perjalanan pulang tersebut  Moa Hitu mrasa sangat gelisah ketika menyadari bahwa dirinya bukan lagi Natui Noe yang dulu. Ia mulai menyadari bahwa dibalik kesaktian yang ada justru ada masalah besar yang menimpanya. Masalah tersebut adalah bagaimana cara untuk masuk kedalam rumahnya  bila Ia sudah tiba di kampung halamanya nanti ? Bagaimanan Ia harus makan bila lapar ? sebab Ia mulai merasakan kelainan yakni tidak merasa  kenyang lagi hanya dengan memakan makanan yang biasa dimakanya. Bagaimana caranya untuk tidur bila Ia mengantuk ?  sebab tubuhnya sangat besar dan panjang.  Bagaimana untuk membungkus badanya bila hujan ?
Masalah-masalah dibalik kesaktian yang dirasakan Moa Hitu sebagai makluk raksasa itu telah membuat dirinya gelisah. Untuk itu Moa Hitu memilih untuk tidak pulang  tetapi ia berjalan dan mengembara dari satu tempat ke tempat lain, sementara kakak-beradiknya yang bersama-sama mencari takaf  sebagian besar sudah kembali ke kampong halamanya kecuali Mutim Olanit (saudara kulit putih kemerahan) dan Metnam Falikis  (saudara kulit hitam legam dan keriting) yang terus melanjutkan perjalanan mereka mencari takaf.
Perjalanan pengembaraan Moa Hitu selalu melewati banyak tempat hanya dengan sekali melangkah dan bila ia menginjakan kakinya baik diatas tanah atau batu selalu meninggalkan bekas telapak  kakinya. Bekas kaki dari Moa Hitu masih bisa dilihat di sebuah batu di kampung Mnela Puilin desa Manufui, Kecamatan Amanatun Selatan dan juga di desa Sanbet , Kecamatan Amanatun Utara serta masih ada lagi pada beberapa tempat di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Karena kesaktian yang dimilikinya maka jika Moa Hitu lapar akan terjadi bencana alam dimana-mana, ada kekeringan, banyak ibu-ibu hamil keguguran bahkan jika ia marah maka bergetarlah bumi karena terjadi gempa  sedangkan jika ia kenyang maka akan ada kelimpahan di mana-mana,  hasil buruan akan berlimpah karena binatang hutanpun dapat dating dengan sendirinya.
Kondisi tubuh Moa Hitu yang panjang dan besar membutuhkan tempat yang luas untuk dapat tidur, Moa Hitu harus memilih tidur dengan cara badanya direntangkan diatas tanah sedangkan leher dan kepalanya disandarkan  pada pohon Tua7)  dan  pohon Tua tempat Moa Hitu menyandarkan leher kepalanya akan terlihat dari kejauhan sepertinya bercabang dan karena itu tempat tersebut kemudian dinamakan Tau masbake8)   sampai saat ini yang artinya pohon Gewang dengan tempat bertumpu atau Pohon Gewang dengan tempat bergantung / bersandar.
Untuk menutupi tubuhnya, Moa Hitu menganyam daun gewang menjadi selimut baginya.
Tahun berganti tahun, bulan pun berlalu, Moa Hitu tak kunjung pulang, Ia melakukan pengembaraan ke tempat-tempat jauh menghindari  kakak beradik, anak dan istrinya. Dilain sisi, kakak-beradik serta anak sudah beranak cucu dan sudah banyak jumlahnya, sehingga masing masing telah mencari tempat tinggal yang baru.
Suatu saat dalam pengembaraannya  Moa Hitu teringat akan anak istrinya. Rasa rindu tak tertahankan lagi maka dikuatkanlah hatinya untuk  kembali.  Sementara di rumahnya, Bi Mana pun sudah mengetahui tentang perubahan bentuk tubuh dan keadaan suaminya dari ceritera para kakak-beradik.   Walaupun sempat terkejut tapi Bi Mana tidak mempersoalkan perubahan tubuh suaminya. Bagi Bi Mana,  Moa Hitu tetaplah suaminya sebagaimana Natui Noe yang dulu Ia kenal. Bi Mana bahkan  sedang menenun untuk membuatkan selimut yang besar guna dapat dipakai oleh Moa Hitu yang besar itu.
 Beberapa saat kemudian maka tibalah Moa Hitu di kampung halamanya,  ketika hendak mendekati rumahnya, Moa Hitu melihat istrinya sedang menenun dengan membelakanginya. Tiba-tiba, anyaman daun gewang yang dipakai membugkus tubuh Moa hitu terlepas dan auratnya yang seperti ular mengagetkan istrinya yang sedang menenun, sehingga dengan tanpa sadar Bi Mana sang Istri mecabut Senu 9) lalu memukul aurat Moa Hitu dengan sangat keras dan menyebabkan Moa Hitu meninggal dunia. Itulah penyebabnya mengapa sampai hari ini masyarakat di Timor Barat pemali10) untuk memukul dengan Senu atau bahkan untuk mengayunkan senu pada seseorangpun  adalah sesuatu yang sangat dikeramatkan ( le'u ) karena menurut kepercayaan masyarakat Atoni Pah Meto hal itu dapat membuat umur seseorang menjadi pendek.
Kematian Moa Hitu menimbulkan duka yang dalam diantara saudara-saudaranya yang kemudian berdatangan untuk melayat sampai-sampai  terjadilah perebutan jenasah  diantara  kakak-beradik. Masing – masing merasa yang paling berhak atas jenasah dimaksud. Walaupun demikian pada akhirnya terjadilah kesepakatan untuk membagi jasad Moa Hitu dengan pembagian sebagai berikut :
·        Suku Sole Neno11) mendapakan bahagian Kepala, lalu menguburkanya pada suatu tempat dimana kepala Moa hitu dikuburkan dengan posisi menuju arah Nenosaet12)  (Timur). Tempat tersebut masih ada sampai sekarang dan dijaga dengan sangat rahasia oleh suku Sole, sampai dengan ceritera ini ditulis. Bebepa puluh generasi kemudian disamping kuburan Kepala Moa Hitu dikuburkan juga dua orang yang dipercayai oleh keluarga Sole sebagai turunan dari  Moa Hitu dan mewarisi namanya yakni Moa Sole dan Moa Nomnafa13) dengan posisi  mengapit kuburan Kepala Moa Hitu. Tempat kuburan itu kemudian dinamakan Nai Mnasi Nakan14)
·        Suku Liu Rai15)   mendapatkan bahagian Badan dan Tangan, lalu menguburkanya diantara Biudukfoho16) dan Tupa
Suku Rais Uf17) mendapatkan  bahagian kedua Kaki Moa Hitu dan menguburkanya pada salah satu tempat di wilayah Kupang




Keterangan :

1). Akun : Sapaan bagi setiap orang Timor Barat menurut asal usul suku atau marganya 

2). Takaf : Tanda 
3). Uis Neno : Raja Langit / Raja Matahari,  pada zaman dulu, ada seorang penguasa (raja) di Timor  yang dianggap keramat dan memiliki kekuasaan serta  Kesaktia atas jagad raya. Sehingga kata UIS NENO ditujukan bagi raja tersebut dan NENO ANAN bagi anak-anak  raja langit / anak matahari. Beberapa waktu kemudian, kata UIS NENO di terjemahkan sebagai penyebutan terhadap TUHAN
4). Fatu Na Neno : Batu Pemegang Langit atau batu kepunyaan langit atau Batu milik Neno, (sebuah nama tempat di Timor Barat)
5). Atoni Pah Meto : Orang Negeri Kering (sebutan bagi populasi masyarakat Timor Barat)
6). Moa Hitu : Tujuh Ruas (Sebutan bagi Natui Noe dimana tubuhnya berubah menjadi besar dan tinggi sekali dalam memiliki tujuh ruas)
7). Pohon Tua : Pohon Gewang
8). Tua Masbake : Pohon Gewang dengan tempat bergantung / bertumpu / bersandar (sebuah nama tempat di Timor Barat, di wilayah Amanuban, yang diakui sebagai tempat sandaran kepala Moa Hitu jika ingin tidur
9). Senu : sebutan bagi alat tenun tradisional  yang berbentuk seperti pedang
10). Pemali : Pantangan  
11)  Sole Neno : Salah satu suku tua yang menurut tuturan (natoni) diakui sebagai bangsawan pada zaman lampau yang berhak membagi wilayah kekuasaan bagi raja-raja lain bahkan berasal dari turunan dewata ( dari langit ) sehingga dapat memisahkan langit dan bumi  (soel neno ma nsoel pah) dan kemudian sebelum kedatangan portugis, mereka memiliki kekuasaan atas wilayah kerajaan Pene mfaifnome (sekarang Amanuban Selatan), dan setelah Portugis datang, merekalah orang pertama yang menerima kehadiran Agama Katolik di Timor yakni di Elo Abi
12) Nenosaet : Matahari Terbit ( arah mata angin : Timur) 
13). Moa Nomnafa : Nomnafa pada zaman dahulu adalah Sole, (kakak-beradik) tapi karena sebuah pertentangan antar keduanya yang tidak bisa dihentikan maka pada zaman sudah ada bangsawan Amanuban, membagi mereka agar masing-masing menempuh jalannya dan nasiblah yang akan menentukan keberlanjutan keturunan masing-masing.
14). Nai Mnasi Nakan : Kepala dari Kakek Tua (Moyang). sebutan bagi kuburan  dari KEPALA MOA HITU
15). Liu Rai : Suku yang kemudian menitiskan Bangsawan di Belu dan diberi gelar Liu Rai
16). Biudukfoho : Salah satu nama tempat di wilayah Kabupaten Belu 
17). Rais Uf (Rasi Uf) : Leluhur dari populasi di Amarasi

Minggu, 25 Maret 2012

" Atoni Pah Meto" mari tuliskan Riwayat Suku atau Marga masing-masing agar kekayaan sejarah tak hilang


Terdorong dari adanya banyak  penulis Ceritra Rakyat  Timor, yang bukan orang asli Timor, sehingga sering kali ceritra yang ditulis sedikit keluar dari yang sebenarnya, dan sebagai contoh ada ceritra dengan judul " Moa Hitu Makluk Raksasa " yang menggambarkan "Moa Hitu" sebagai Binatang Raksasa, hal ini sungguh membuat suatu kekeliruan besar dan sangat menggores hati kami sebagai "Atoni Pah Meto" apalagi ceritra rakyat ini secara budaya, masih dikeramatkan oleh  suku Sole di Timor Barat, dimana suku ini  sampai sekarang merupakan satu-satunya suku yang memberi sapaan khusus kepada "Moa  Hitu" sebagai "Nai Mnasi"....Untuk itu, ketika membaca Ceritra dengan judul "Moa Hitu" yang dilukiskan sebagai Binatang Raksasa, maka saya terdorong untuk meluruskanya sambil mengingat tuturan turun-temurun dari dalam Suku Sole,  yang sering didongengkan oleh kakek-nenek saya, dimana mereka mengakui bahwa "Moa Hitu" adalah bagian dari Leluhur suku Sole.......dan untuk itu saya ingin melanjutkan ceritra ini sebagaimana yang dituturkan oleh kakek-nenek saya, sekedar untuk memperkaya atau mendekatkan pembaca pada ceritera yang lebih tepat......
Memang sebagai orang Timor, saya mengakui bahwa selama berabad-abad, sejarah Timor dan sejarah Suku-Suku, yang biasanya disampaikan lewat tuturan adat secara lisan atau disebut "Natoni" menjadi sebuah "TUAH" atau "SENJATA" yang tidak boleh dibuka dengan sembarangan kepada sembarang orang (rahasia tiap suku)....Hal ini TABU bagi orang TIMOR, sebagaimana ungkapan Orang Timor Barat (Atoni Pah Meto) yang menyatakan bahwa " Au ka teke kauf he kae he tek au teka "   atau  " Au ka teke kauf he kae he tek au kan ku" bahwa setiap tuturan terkait Riwayat atau sejarah masing-masing suku adalah "SENJATA"  atau yang disebut sebagai "FANU" dan karenanya tidak boleh sembarangan di pakai karena bisa berdampak buruk, bahkan membawa kematian. Tetapi hal ini akhir-akhir ini, justru membawa kerugian terhadap kelestarian kekayaan budaya ini, terlebih tradisi-tradisi lisan karena tidak dapat tercatat, kecuali yang sempat ditulis oleh bangsa-bangsa asing. Apalagi sekarang ini, bayak para tetua sudah meninggal dunia dan generasi muda dari "Atoni Pah Meto" sudah banyak yang tidak lagi mendapat warisan ceritra turun-temurun ini, oleh  karenanya untuk melestarikan kekayaan budaya agar TIDAK HILANG ditelan waktu maka saya mencoba menuliskan beberapa tuturan ceritera yang sempat dibagikan oleh para LELUHUR SAYA juga yang menjadi "RAHASIA UMUM" bagi orang TIMOR BARAT......
Mengapa saya menyebutkan rahasia umum ?........karena sesungguhnya para tetua adat di TIMOR BARAT,masih ada yang mengetahui sejarah suku mereka masing-masing, tetapi karena kawin mawin yang sudah bervariasi antar suku sehingga beberapa sejarah kemudian tidak dituturkan, bahkan ada yang ceritra atau tuturan sejarahnya hanya menonjolkan suku-suku tertentu, dan cenderung tidak diakui oleh suku-suku yang lain. Untuk itu saya mengajak semua orang TIMOR untuk menulis apa saja yang sempat dituturkan oleh nenek moyang masing-masing secara turun-temurun, bukan lagi untuk saling menonjolkan diri masing-masing suku, tapi lebih pada bagaimana meninggalkan kekayaan budaya bagi generasi berikutnya.

Ok. tunggu saja posting saya tentang " MOA HITU, atau NEON NARUK" .............Ceritra Rakyat TIMOR........

Sabtu, 24 Maret 2012

CONTENT BLOG INI

Halo para bloggers......blog ini rencanaya akan saya coba isi dengan segala sesuatu, apapun itu yang penting bermanfaat bagi semua org....

sya juga berminat menulis tulisan yang berhubungan dengan atau terkait dengan sejarah kerajaan-kerajaan di Timor, khususnya kalangan suku Atoni Pah Meto  dan ceritera rakyat ataupun legenda yang diceritrakan oleh leluhur saya juga nara sumber yang lain  hal mana conten-nya masih punya hubungan dengan Atoni Pah Meto di Pulau Timor (Timor barat) atau terkait "Atoni Pah Meto"......yuk....bantu saya untuk menemukannya..... thanks all